[Book Review] All the Bright Places -- Tempat-tempat Terang

 Hai!

Ceritanya, beberapa bulan terakhir ini, aku mulai berniat untuk 'membangunkan' hobi lamaku yang sempat 'mati suri' selama sekian tahun : membaca buku!

Untuk kalian yang juga suka membaca buku, inget nggak apa buku pertama yang buat kalian merasa 'ketagihan' untuk baca buku? 

Kalau aku sendiri, buku pertama yang paling aku ingat dan berhasil membangkitkan minatku untuk baca buku adalah bukunya Sri Izzati dalam seri Kecil-Kecil Punya Karya (KKPK) dengan judul "Ibuku Chayank, Muach!" Hahaha. Aku ingat baca buku itu sekitar kelas tiga atau empat sekolah dasar, dan bukunya pun hasil pinjaman dari kakak sepupu. Sejujurnya, aku sudah nggak terlalu ingat jalan ceritanya, tapi aku ingat rela menulis setiap kalimat buku itu ke buku tulisku hanya karena aku ingin baca buku itu lagi dan lagi, namun kakak sepupuku 'nagih' aku untuk mengembalikan buku itu, dan di lain sisi aku sudah nggak tahu dimana aku bisa beli buku itu. Hahaha... kenangan masa kecil.

Anyways,

Di awal bulan November ini, aku memutuskan untuk baca bukunya Jennifer Niven dengan judul "All the Bright Places" versi Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2017 dengan banyak halaman 400. Walau film dan bukunya sama bagusnya, sebenarnya aku agak menyesal lebih dulu menonton filmnya sebelum akhirnya membaca bukunya, karena imajinasi liarku jadi kurang terasah, hahaha. Tapi nggak apa, dua-duanya tetap worth it untuk dinikmati!



RINGKASAN

Well, buku ini menceritakan tentang dua remaja Theodore Finch dan Violet Markey, dengan latar tempat di Indiana, Amerika Serikat.

Finch--yang memiliki gangguan mental, namun menolak untuk pergi ke layanan kesehatan mental profesional karena benci mendapat suatu 'label' untuk dirinya sendiri--terobsesi pada kematian dan terus-menerus memikirkan cara untuk bunuh diri.


Inikah hari yang tepat untuk mati?

Pertanyaan itulah yang kuutarakan pada diriku sendiri pada pagi hari saat aku terbangun. Pada jam ketiga ketika aku berjuang supaya mataku tetap terbuka gara-gara ocehan membosankan Mr. Schroeder yang tanpa henti. Di meja makan selagi aku mengoper buncis. Pada malam hari sewaktu aku berbaring dengan mata nyalang karena otakku enggan berhenti bekerja akibat banyaknya hal yang dipikirkan. 

Inikah harinya?

Dan kalau bukan hari ini--lalu kapan?

(Finch; hlm. 11)


Kemudian aku naik ke kamar, duduk di kursi, dan merenungkan mekanika gantung diri. Masalahnya aku terlalu tinggi dan langit-langit terlalu rendah. Memang ada basemen, tapi tak ada yang pernah turun ke sana, dan bisa-bisa baru berapa minggu kemudian, bahkan mungkin berbulan-bulan kemudian, sebelum Mom dan kedua saudaraku menemukanku.

(Finch; hlm. 148)


Tapi, sesering apapun Finch memikirkan cara-cara untuk bunuh diri, selalu ada aja yang buat dia 'sadar' untuk tetap di 'sini'. Sesepele apapun itu...misalnya, saat kali pertama Finch dan Violet mulai mengenal satu sama lain.


Dengan sebelah mata tertuju ke komputer, aku mengambil gitar, mulai menyusun kata-kata, nadanya menyusul tak lama kemudian. Aku masih di sini, dan aku bersyukur, sebab kalau tidak aku akan melewatkan ini. Kadang-kadang terjaga itu ada untungnya juga. 

"Rupanya bukan hari ini," aku bernyanyi. "Sebab dia tersenyum padaku."

(Finch; hlm. 50)


Aku rasa, Finch itu adalah seseorang yang juga cukup talk active. Dia suka sekali bicara, malah buatku cenderung hiperaktif juga. Mungkin juga dampak dari otaknya yang dia bilang terus-terusan bekerja dan memikirkan sesuatu. Sebenarnya ini bumerang untuk dirinya sendiri, karena beberapa orang nggak suka sama sifatnya yang dianggap terlalu 'ceplas-ceplos' dan 'bicara sebelum berpikir'. Tapi, aku pikir, malah itulah yang dibutuhkan Violet dan jadi membuat dia keluar dari kotaknya. Violet yang murung, Violet yang depresi, Violet yang dulunya ceria dan populer menjadi Violet yang anti sosial dan enggan berteman dengan siapapun.


"Kau berdiri di langkan itu karena kau tak tahu harus berpaling ke mana lagi dan harus berbuat apa lagi. Kau sudah kehilangan semua harapan. Kemudian bagaikan kesatria perkasa, aku menyelamatkan nyawamu. Ngomong-ngomong, kau terlihat sangat beda tanpa makeup. Bukan jelek, tapi berbeda. Jangan-jangan malah lebih cantik. Nah, apa ceritanya dengan situs web-mu? Apa kau sejak dulu ingin menulis? Ceritakan dirimu kepadaku, Violet Markey."

(Finch; hlm. 67)


Di paragraf itu, aku benar-benar membayangkan Finch bicara dengan cepat dan seakan hanya menggunakan satu tarikan napas sebelum akhirnya mengakhiri omongannya, hahaha.

Anyways, mari kita mulai bicara tentang Violet.

Violet adalah tipe cewek populer dengan rambut kepirangan dan wajah berbentuk hati serta mata besar berwarna keabuan. Seorang pemandu sorak yang juga berkencan dengan Ryan Cross--laki-laki yang sama populernya di sekolah. Sebelumnya, Violet sangat suka menulis artikel dan bahkan punya situs khusus bersama kakaknya, Eleanor. Tapi, semenjak Eleanor meninggal karena kecelakaan mobil tunggal, Violet berubah 180 derajat.

Violet butuh 'keadaan khusus' di kelas-kelas yang mengharuskan dia menulis esai atau bepergian. Violet dulu senang mengendarai mobil, namun sudah berbulan-bulan dia lebih memilih jalan kaki atau bersepeda jika harus bepergian ke suatu tempat. Violet menjaga jarak dengan siapapun dari sekolah, setidaknya sampai ia berada di satu kelas yang sama bersama Finch pada matapelajaran Geografi Amerika, dimana Mr. Black mengharuskan setiap anak melakukan projek secara berpasangan untuk berkeliling Indiana untuk kemudian membuat artikel mengenai perjalanan tersebut. Tidak ada lagi 'keadaan khusus' untuk Violet, dia harus bepergian dan menulis.

Sebenarnya, dari situlah awal mula bagaimana Violet dan Finch bisa berteman semakin dekat. Perjalanan mereka cukup magical, Indiana yang bagi Violet terkesan membosankan ternyata punya banyak tempat unik di berbagai sudutnya. Untuk hal ini, Finch yang paling berperan mencari tempat-tempat tersebut karena dia memang suka berkelana ke banyak tempat sebelumnya. Perjalanan-perjalanan mereka ini membuat Violet semakin berubah, bahkan dia mulai menulis dan mengendarai mobil lagi. 

Sebaliknya, seiring meluasnya dunia Violet, dunia Finch mulai menyusut.


KOMENTAR

Sudut pandang di buku ini menggunakan orang pertama namun dibagi dari sisi Finch dan Violet. Karenanya, banyak pikiran kelam dari Finch maupun Violet yang buat aku kerasa 'capek' secara emosional bacanya. Kalau nggak salah, buku ini selesai aku baca setelah 10 hari atau lebih. Bukan karena bosan, tapi selain karena alurnya pun cukup lambat, juga karena ada beberapa hari jeda yang aku butuhkan karena rasa 'capek'-nya itu selagi membacanya, yang mana justru buat aku suka sama buku ini karena penulis berhasil buat pembaca merasakan hal seperti itu, yang padahal saat awal baca buku ini aku lagi nggak ngerasa sedih atau gimana, dan aku sendiri nggak punya gangguan mental juga. Tapi somehow, tetap ngefek secara emosional. Hahaha.

Dari segi cerita, aku suka banget bagian dimana Finch dan Violet berkelana dan mengunjungi tempat-tempat uniknya Indiana itu. Deskripsi tempat-tempat itupun berhasil membangkitkan imajinasi aku, dan selagi membacanya seakan-akan aku ikut berkelana sama mereka juga, haha. Bisa dibilang, perjalanan Finch dan Violet itu sendiri juga bagian paling menyenangkan dalam buku ini, bagian dimana aku bisa liat Finch dan Violet amat menikmati hidup.

Aku juga suka character development-nya Violet, yang dari awal diceritakan super murung dan bicara seadanya, lambat laun mulai kembali seperti dirinya yang dulu, apalagi setelah Violet mulai dengan sukarela melepas kepergiannya Eleanor. Violet yang mulai menulis lagi dan terus mengingatkan dirinya sendiri kalau kecelakaan Eleanor bukan kesalahan dirinya.

Tapi, sayangnya, seiring dengan semakin baik perkembangannya Violet itu, entah kenapa pikiran Finch semakin kusut kian hari. Misalnya, karena dia ngerasa nggak cukup baik untuk Violet, atau dia yang nggak setampan dan sepopuler Ryan Cross, atau Violet yang pada akhirnya akan ninggalin dia, karena dia percaya kebahagiaan yang dia rasakan itu nggak akan bertahan lama. Kebahagiaan yang dia rasakan biasanya nggak bertahan lama. Buat Finch, yang bertahan lama itu kesedihan dan pikiran untuk bunuh diri. 

Beberapa orang cerita sama aku, katanya mungkin kurang bijak untuk baca buku ini saat kalian lagi punya emosi yang kurang stabil, apalagi jika kondisi kalian relate sama kondisinya Finch dan Violet. Aku cukup setuju, sih, karena aku pribadi ngerasa kalau buku ini memang ngefek banget ke emosi. Banyak sekali pikiran kelam yang dituangkan di buku ini. To sum up, this book isn't the right choice if you want to read a happy lovey-dovey kind of stories. Benar-benar bukan. Haha.

Kalau dari segi penampilan buku, aku suka banget sama covernya! Thumbs up pokoknya buat yang desain, hahaha. Paduan warna dan penempatan gambar serta tulisannya itu, loh.. apik sekali. Bahkan, kalau boleh jujur, aku lebih suka cover buku ini versi Indonesia dibanding versi orginalnya.

Tapi, sayangnya, aku kurang suka sama gaya bahasa di terjemahannya. Sebenarnya cukup oke, nggak terlalu kaku atau membingungkan, tapi entah kenapa buat aku pribadi gaya bahasanya kurang 'masuk' aja buatku, hehe. Selain itu, banyak kalimat yang typo juga.. yang sepertinya baru kali ini aku baca buku yang ada typonya di beberapa tempat, haha.

Oke, mungkin itu dulu. See you on the next post!

Rate : 🐇🐇🐇🐇

Stay kind, stay happy!

a.h.m.🐇
Jakarta, Indonesia
November 2020
10:58




Comments