[Book Review] The Puppeteer: Kisah Filosofis tentang Makna Keluarga
Halo!
Kali terakhir aku review buku,
itu post pertama di tahun 2017. Dan review
buku kali ini akan jadi post pertama
di 2018! Yeah.. yeah, I need to post
more!
Entah kenapa kaku amat ya saya di post
sebelumnya itu.. maklum, masih nyari-nyari gaya tulisan nih ☹ mari loosen a bit di post yang ini ya, haha.
Alright, jadi buku yang bakal dibahas kali ini adalah “The Puppeteer” (judul asli: Dukkeføreren) karya Jostein Gaarder,
yang isinya ada 352 hlm. diterbitkan oleh Penerbit Mizan, September 2017.
RINGKASAN
Namanya Jakop Jacobsen (omong-omong, dia benci nama lengkapnya itu)--pria tua yang senang menghadiri pemakaman. Teman terdekatnya adalah Pelle Skrindo, dikisahkan sebagai bajak laut yang suka datang dan pergi sesukanya. Selain Pelle, Jakop juga memiliki sahabat pena. Namanya Agnes. Di dalam buku ini, seluruhnya adalah apa yang tulis Jakop untuk Agnes pada tahun 2013 di dua tempat yang berbeda: Pulau Gotland di Swedia dan Pulau Lofoten di Norwegia.
Kepada Agnes. Aku telah berjanji untuk menuliskan
kabar kepadamu. Ingatkah? Setidaknya aku akan mencoba.
(hlm. 9; GOTLAND, MEI 2013)
Dengan menyebutkan tanggal tadi, aku sambil juga
menandai bahwa saat menuliskan ini, satu bulan telah berlalu sejak kita bertemu
di Arendal. Beberapa jam setelah itu, kau berkenalan juga dengan Pelle. Dan kalian
langsung cocok, menurutku.
(hlm. 12; GOTLAND, MEI 2013)
Jakop hidup sendiri. Dia senang
berbagi kisah. Sayangnya, dia hanya punya Pelle sebagai teman berbagi. Tetapi,
Pelle lebih sering membantahnya daripada mendengarkannya.
Pelle adalah karakter
yang menarik, rasanya hanya dia yang bisa mengerti Jakop. Mereka mempunyai
kesamaan yang banyak—layaknya satu pikiran dalam dua kepala. Walaupun Pelle
sangat suka sekali bicara—sampai-sampai memalukan Jakop di depan orang banyak—Pelle
selalu ada bersama Jakop puluhan tahun lamanya. Oh iya, mereka juga tinggal di
rumah yang sama, bahkan setelah Jakop menikah dengan--sekarang, mantan--istrinya, Reidun.
Awal Agustus di musim panas saat aku mulai sekolah,
Ibu mengajakku pergi ke Holsdagen ke tempat sepasang pengantin di atas kuda,
entah sedang menikah sebenarnya atau sekadar pura-pura untuk menunjukkan
bagaimana perkawinan tradisional Halling dirayakan pada zaman dulu. Kami
menjadi bagian dari kelompok besar tamu yang mengikuti di belakang pasangan
pengantin sepanjang Holsfjorden, mirip seperti parade 17 Mei di pertengahan
musim panas.
Aku tidak ingat banyak tentang acara itu, umurku baru tujuh tahun,
tapi saat kami sampai di museum desa Hol, aku mendapat beberapa kroner dari Ibu
dan akhirnya memenangi sebuah boneka dalam sebuah undian. Boneka itu adalah
Pelle, atau Peder Ellingsen Skrindo, begitu dia memperkenalkan dirinya secara
formal.
(hlm. 151-152; Pelle)
Omong-omong.. Pelle dan Jakop itu suka sekali berbicara—atau lebih tepatnya, berdebat—mengenai
paralelisme Indo-Eropa. Beginilah kira-kira percakapan mereka sehari-harinya:
“Tuft (rumput)
di tomt (ladang),” kataku, “dari kata
Indo-Eropa *demH- yang artinya
membangun, asal mula kata bahasa kita tømmer (kayu
gelondongan), kata Inggris timber,
yaitu benda-benda yang digunakan untuk membangun, seperti kata Jerman Zimmer yang bisa berarti tømmer atau ruangan.”
Pelle
mengangguk mengiyakan. Dia berkata, “Tepat sekali, ya, seperti yang kita
dapatkan dari freuntimmer (ruangan
khusus wanita), yang dalam bahasa Jerman Frauenzimmer.
Mengerti maksudku, Kawan?”
(hlm. 55;
Erik)
Jakop senang menghadiri pemakaman orang asing yang tidak dia kenal, aku sendiri bingung
kenapa. Katanya, karena sudah ngga punya keluarga, pun kerabat dekat,
setidaknya pemakaman bisa membuat dia merasakan kehangatan dari para keluarga
dan kerabat dekat almarhum. Walaupun begitu, Jakop sadar perbuatannya aneh dan mencurigakan. Dia sempat berpikir untuk tidak lagi mendatangi pemakaman orang
asing, setidaknya sampai dia sadar seluruh pemakaman yang pernah ia datangi ternyata
merupakan kerabat dari seseorang bernama Erik Lundin.
“Dan, Anda?” kata Liv-Berit akhirnya, dia tersenyum
hangat dan ramah.
“Jakop,” kataku. Atau aku sebenarnya bisa bilang
Jacobsen. Jarang sekali aku menyebutkan keduanya: Jakop Jacobsen. Betapa
bencinya aku dengan nama konyol itu!
Tidak ada yang menanyakan nama belakang, tapi mereka
juga tidak melepaskan tatapan dariku. Liv-Berit bertanya lagi, “Jadi, Anda
kenal Papa di mana?”
(hlm. 32; Erik)
Tanggal 22 Desember 2011, Jakop menghadiri pemakaman
lagi. Kali ini seorang dosen matematika dan fisika yang juga memiliki
gelar doktor dalam bidang astrofisika bernama Grethe Cecilie—kakak dari Agnes. Ya, Agnes yang itu.
Aku sudah mengenalkan diri sebagai seorang guru, dan kau
menanyakan apakah aku kolega Grethe Cecilie di sekolah tempatnya mengajar
selama bertahun-tahun. Bagaimana konteksnya sampai kami bisa bertemu? Bukan cuma
Tuva yang penasaran akan hal itu.
Aku bilang bahwa aku bertahun-tahun yang lalu bertemu
Grethe Cecilie di penginapan Turis Østerbø di puncak Aurlandsdalen
di Vestlandet, saat kami datang ke tempat itu sebagai dua tamu single, kebetulan dengan bus yang sama,
tapi sebenarnya datang sendiri-sendiri ….
… Kami
berjalan kaki, dan aku mendapatkan
kesempatan yang bagus untuk fokus pada bidang keahlianku. Aku mencoba menulari
Grethe Cecilie dengan antusiasmeku pada etimologi dengan memilih beberapa
contoh berharga dari peti wasiat kosakata Indo-Eropa kunoku. …
Saat
itulah kau menyela. Kau menatapku dengan usaha berempati yang tak terkatakan,
dan kau berkata,
“Tapi, Grethe Cecilie itu lumpuh. Dia sudah lumpuh sejak umur
enam tahun, sejak kecelakaan lalu lintas yang dialaminya.”
(hlm.
142-145; Grethe Cecilie)
KOMENTAR
Jadi, ceritanya,
pertama aku liat buku ini di Jogja… Desember 2017. Jujur, belum pernah sih baca buku yang tipenya berat kayak gini. By the way,
berhubung aku jarang banget bisa hafal nama-nama penulis buku yang aku baca,
jadi pada saat itu aku gatau juga Jostein Gaarder itu siapa. Ditambah, aku juga
belum pernah baca buku-buku dia sebelumnya, cukup tau aja buku Sophie’s World atau Anna’s World… mungkin untuk kalian yang udah pernah baca karya
Jostein sebelumnya, kira-kira kebayang ya gimana gaya penulisan dan penggunaan
kata-kata yang dipilih di dalam buku yang satu ini.
Untuk gaya penulisan,
jujur aku suka sih. Walaupun otakku butuh mencerna dan konsentrasi yang tinggi
banget, gaboong deh. Hahaha. Apalagi banyak banget kosakata
Norwegia/Indo-Eropa/Jerman/Latin dan yang lainnya di dalam cerita ini… untuk latar belakang tempat
pun juga digambarkan terjadi di kota-kota Norwegia dan Swedia, yang aku
sendiri ngga familiar banget sama
hal-hal yang berbau Eropa, ditambah ini cerita filsafat, jadi dari awal memang
mesti muter otak banget bacanya. Bahkan, nama tokoh-tokohnya pun aku kurang
hafal (karena nama-nama khas Eropa, seperti Liv-Berit, Tuva, dan sebagainya).
Jadi ga kebayang deh, gimana kalo baca yang belum diterjemahin ke bahasa
Indonesia ☹ haha.
TAPI.. Untuk
ceritanya, aku cukup suka. Unik dan simple.
Jakop yang bener-bener kesepian, punya
kebiasaan aneh datang ke pemakaman dan dengan jagonya ngebual tentang
cerita-cerita buatannya mengenai hubungannya dengan para almarhum, yang
menurutku cukup meyakinkan… sampai akhirnya, dia ketemu Agnes. Dan sejak itu,
Jakop jadi kapok datang ke pemakaman orang asing. Hahaha. Lagian ngapain, sih?
Ckck.
Untuk ratingnya sendiri, aku kasih 7.5 dari 10.0.
Sebenernya draft ini udah tinggal di laptop lumayan lama… dan saat
ngetik ini, aku baru aja selesai baca 5 buku lainnya. Ngetiknya bikin kangen
baca buku ini lagi, deh! Wkwk.
Yup, aku rasa sudah
cukup review-nya, sampai jumpa lagi di next post, ya!
Stay
kind, stay happy!
a.h.m.🐇
Jakarta, Indonesia
Agustus 2018
16:32
Meltycanon – A Song About Love (( in case you need a gud song ))


Comments
Post a Comment