[Book Review] The Missing: Psikopat Pemuja Wanita
Halo!
Sebenarnya draft ini sudah dibuat dari awal tahun 2019, tapi ternyata
kulupakan :(
Well, sekarang sudah masuk pertengahan 2020
dan kurang lebih sudah hampir lima bulan aku mendekam di rumah karena pandemi,
namun begitu marilah kita tetap berdoa!
Semoga segala harapan dan impian bisa tetap
diwujudkan di sisa tahun ini. Aamiin.
Anyways, hari ini aku mau review buku lagi, hehe. Buku kali ini berjudul “The Missing”, karya dari Chris Mooney
yang dipublikasikan oleh Dastan Books di Jakarta pada tahun 2014, dengan jumlah
389 halaman.
“Psikopat
pemuja wanita. Wanita adalah peliharaan termanis, permainan terseru, korban
terbaik…”
RINGKASAN
Belasan
wanita hilang diculik. Berpuluh tahun kemudian mereka ditemukan dalam keadaan
sangat mengenaskan—baik mati maupun hidup. Mereka dijadikan permainan, seperti
tikus yang dikurung dalam labirin penyiksaan. Tiap perubahan yang terjadi pada
mereka, sejak mulai diculik hingga mati, diabadikan si pelaku dengan foto.
Mereka yang masih bisa bertahan hidup ditemukan tinggal tulang berbalut kulit
yang telah ditumbuhi bulu-bulu putih halus—seperti layaknya binatang.
Jelas
bahwa ini bukan kasus penculikan dan pembunuhan biasa. Si pelaku—yang dijuluki
sebagai The Traveler—jelas sangat menikmati tiap derita yang dirasakan para
korban setiap harinya selama puluhan tahun. Tiap korban dipelihara layaknya
hewan percobaan untuk dinikmati rasa sakitnya. Para wanita tersebut dibiarkan
hidup selama puluhan tahun hanya untuk merasakan siksaan ekstrem.
Bersama
FBI, Darby McCormick—crime scene investigator kepolisian Boston—berusaha
memecahkan kasus ini dan menghentikan sepak terjang si pelaku. Sebelum ia
kembali beraksi—bermain-main dengan rasa takut dan penderitaan para wanita
korbannya!
Yap, dari summary-nya udah ketauan lah, ya, genre-nya apa?
Awal cerita dimulai pada tahun 1984,
ketika tiga belas tahun Darby McCormick, Stacey Stephens dan Melanie Cruz
sedang ‘merayakan’ ulang tahun Melanie di hutan dekat rute 86. Sampai akhirnya,
mereka mendengar sesuatu dari jarak yang cukup dekat.
“Kau dengar itu?” bisik Stacey.
Krak—krak—krak—suara ranting dan cabang kering yang patah karena diinjak.
“Mungkin itu rakun atau binatang lain,” Darby balas berbisik.
“Bukan bunyi rantingnya,” kata Stacey. “Tangisan itu.”
Darby meletakkan birnya dan melongokkan ke luar ceruk. Matahari
telah terbenam beberapa saat yang lalu; ia tak melihat apa-apa selain deretan
pepohonan yang gelap dan suram. Derak ranting patah itu semakin keras. Benarkah
ada seseorang di luar sana?
Suara patahan dan langkah itu berhenti, lalu mereka mendengar suara
perempuan, sayup namun jelas:
“Kumohon lepaskan aku, aku bersumpah pada Tuhan, aku takkan
memberitahu siapa pun tentang apa yang telah kau lakukan.”
(hlm. 12-13; Bagian I, Lelaki dari Hutan (1984): Bab 1)
Bagian II dari cerita ini terjadi di
tahun 2007, sudah 23 tahun berlalu dan Darby yang tumbuh menjadi seorang crime-scene investigator kepolisian
Boston diceritakan sedang menangani kasus hilangnya seorang remaja enam belas
tahun, Carol Cranmore.
Beberapa jam
setelah menghilangnya Carol, Darby mengunjungi rumah Carol untuk mencari
apapun yang bisa digunakan sebagai petunjuk. Tanpa disangka, Darby menemukan
seorang perempuan di bawah serambi rumah itu; petunjuk besar yang mengarahkan
Darby menuju si Traveler.
Perempuan itu tidak melihat kepadanya, seakan tembus pandang.
Pandangannya hampa, duga Darby.
Lalu tiba-tiba kekosongan itu lenyap. Mata perempuan itu mulai
fokus, agak dangkal saat mencoba mengenalinya, lalu melebar dengan tiba-tiba,
dengan keterkejutan yang bercampur dengan, apa, sebuah bentuk? Apa itu?
“Terry? Terry, kaukah itu?”
Manfaatkan itu. Apa pun itu,
manfaatkan.
“Ini aku.” Mulut Darby mengering. “Aku di sini untuk. . .”
“Pelankan suaramu, dia sedang
memperhatikan.” Perempuan itu menunjuk dengan dagunya ke arah langit-langit
serambi.
Tak ada apa pun di langit-langit selain sarang laba-laba dan sekam
yang kering dari kepala banteng tua.
“Aku akan mematikan senternya,” kata Darby. “Jadi, dia takkan
melihat kita.”
“Oke, bagus. Itu bagus. Kau selalu cerdas, Terry.”
(hlm. 52; Bagian II, Hilangnya Seorang Gadis Kecil
(2007): Bab 8)
Bisa dipahami bahwa perempuan itu
mengalami halusinasi yang cukup parah. Kondisi tubuhnya saat ditemukan juga
cukup mengenaskan; sebagian besar rambutnya telah rontok, wajahnya kurus kering
dan cekung, pipinya tirus, kulitnya seperti lilin, putih memucat. Seorang
korban hilang yang lari dari mobil van yang digunakan Traveler, kemungkinan saat
pria itu masuk ke rumah Carol untuk menculiknya.
“Kukira kau sudah mati,” kata perempuan itu.
“Mengapa kau berpikir seperti itu?”
“Kau menjerit. Kau menjerit padaku agar menolongmu dan aku tidak
bisa menolongmu saat itu.” Wajah perempuan itu menampakkan kebingungan. “Kau
tidak bergerak, dan kau berdarah. Aku berusaha membangunkanmu dan kau tidak
bergerak.”
(hlm. 53; Bagian II, Hilangnya Seorang Gadis Kecil
(2007): Bab 8)
KOMENTAR
“The
Missing nyaris tak memberi pembaca kesempatan untuk bernapas. Sungguh memikat
dan menghadirkan ketegangan sejak halaman awal.” – The Boston Globe
“Kisah yang benar-benar memikat dan
bergerak laju. Mooney berhail menyuguhkan pikiran seorang sociopath; pembaca akan terpukau sekaligus ngeri.” – BookLoons
“The
Missing benar-benar merupakan perpaduan antara kisah tegang dan misteri.
Chris Mooney adalah seorang penulis brilian, dan di tangannya kisah ini menjadi
begitu memikat, menegangkan, sekaligus menyentuh.” – Michael Conelly, Penulis Best-seller
Sudut pandang di dalam buku ini terbagi
menjadi tiga; dari sisi Darby, sisi korban penculikan—Carol Cranmore, dan sisi
si Traveler itu sendiri. Dikarenakan di buku ini kita
dapat sudut pandang Traveler juga,
jadi kita bisa tau bagaimana dia ‘bermain’, dan betapa ‘sakit’-nya dia.
Walaupun kita dapat point of view dari Traveler, akhir dari buku ini tetap mind-blowing dan ngga terduga, ngebuat aku benar-benar tahan napas
selagi membacanya! It’s safe to say buat
kalian yang pengen baca buku genre
thriller tapi tetap diceritakan dengan ringan dan ngga terlalu berat atau
terlalu mikir, buku ini bisa jadi
pilihan!
Omong-omong, buku yang aku baca ini adalah buku terjemahan dari Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia. Jadi aku mau kasih shoutout juga untuk penerjemah yang sukses menerjemahkan kalimat dari buku ini dengan baik, karena selama aku membaca buku ini, aku benar-benar kayak terbawa suasana dan bisa membayangkan setiap adegan di otakku dengan baik.
Sebenernya aku ingin mengutip lebih
banyak kejadian-kejadian dalam buku ini, tapi aku nggatau gimana caranya supaya
ngga kasih kalian spoiler lebih banyak, hahaha. Soo.. this is the end of the post, but before I leave I think I shall
leave you guys with another dreadful event of this story down below!
Rate : 🐇🐇🐇🐇🐇 (super suka!)
Stay
kind, stay happy!
a.h.m.🐇
Jakarta, Indonesia
Juli 2020
20:21
Hippo Campus – South (( in case you need a gud song ))
“Carol,” bisik Darby. “Carol, di bawah sini.”
Carol Cranmore, merangkak di lantai, menatap pada Darby lewat
lubang.
“Aku polisi,” kata Darby. “Apakah kau terluka?”
Carol menganggukkan kepalanya, matanya terbuka lebar dan penuh
ketakutan.
“Kurasa masih cukup lebar untuk kau merangkak ke sini,” kata Darby.
“Ayo, aku akan membantumu.”
Carol terguncang melewati lubang dari kayu bergerigi dan tersangkut.
Darby menangkap tangan Carol dan menariknya ke dalam, ujung tajam dari kayu yang
patah menggores kakinya. Carol bertelanjang kaki. Telapak kaki dan pergelangan
kakinya tergores, berdarah di beberapa tempat. Ia hanya mengenakan pakaian
dalamnya dan bra, dan ia menggigil.
“Dia memegang sebuah kapak, aku melihatnya….”
“Aku tahu siapa dia,” kata Darby. “Aku perlu tahu di mana dia. Apakah kau telah
melihatnya?”
Carol menggelengkan kepalanya.
“Berapa orang yang ada di bawah sini bersama kita? Apakah kau tahu?”
“Aku mendengar beberapa orang—beberapa perempuan—tapi aku hanya
pernah melihat satu orang. Dia berdarah hebat. Aku sedang mencoba
membangunkannya saat dia datang kepadaku dan aku melarikan diri. Aku juga
melihat sebuah kerangka.” Wajah Carol melemah. “Tolong, aku tidak ingin mati….”
Darby merangkul bahu remaja itu. “Dengarkan aku. Aku tahu kau
ketakutan, tapi kau tidak boleh menangis atau menjerit. Kau tidak boleh
melakukannya, mengerti? Aku tidak ingin dia menemukan kita. Kita harus
menemukan jalan keluar dari sini, dan aku ingin kau menguatkan dirimu untukku.
Aku ingin kau berani. Kau bisa melakukannya?”
Seorang perempuan menjerit—terlalu dekat, suara itu datang tepat di
depan mereka.
Darby menutupkan tangannya pada mulut Carol dan mendorongnya ke
dinding saat sebuah pintu tertutup. Perempuan itu menjerit lagi, suaranya
berasal dari ruangan tempat Carol berada tadi.
Perempuan itu mulai memohon untuk hidupnya. “Kumohon… aku akan
melakukan apa saja yang kauinginkan, hanya jangan melukaiku, tolonglah.”
(hlm. 339-340; Bagian II, Hilangnya Seorang Gadis Kecil
(2007): Bab 67)



Comments
Post a Comment